Begitu sampai di gerbang masuk Kampung Adat Cireundeu, kita akan disambut oleh monumen Meriam Sapu Jagat. Melewati Monumen Sapu Jagat lalu kita masuk Gerbang Kampung Adat Cireundeu, setelah 20 meter memasuki kawasan kampung Adat Cireundeu barulah sampai di Saung Baraya dan Bale Saresehan.
Kampung Adat Cireundeu memiliki luas 64 ha terdiri dari 60 ha untuk pertanian dan 4 ha untuk pemukiman. Sebagian besar penduduknya memeluk dan memegang teguh kepercayaan Sunda Wiwitan. Cireundeu berasal dari nama “pohon reundeu”, karena sebelumnya di kampung ini banyak sekali populasi pohon reundeu.
Hingga kini, masyarakat adat mengonsumsi singkong yang disebut dengan rasi sebagai makanan pokok secara turun temurun. Diawali pada tahun 1918 ketika sawah-sawah yang mengering, kemudian para leluhur berwasiat untuk menanamkan singkong sebagai pengganti padi. Setelah beberapa tahun mencoba maka sejak 1924 masyarakat adat Cireundeu berketetapan mulai mengonsumsi singkong hingga saat ini.
Hal ini bukan berarti masyarakat adat mengharamkan beras dari padi, namun melestarikan dan mengikuti pesan sesepuh. Rasa kenyang dari konsumsi singkong lebih lama dibandingkan dengan padi. Sehingga masyarakat adat cukup makan dua kali sehari.
Masyarakat adat mengolah singkong dengan cara digiling, diendapkan dan disaring menjadi aci atau sagu. Ampas dari olahan sagu yang dikeringkan juga dibuat menjadi rasi atau beras singkong. Tidak hanya itu, singkongpun diolah menjadi berbagai camilan seperti seroja, opak, egg roll, cireng, simping, bolu, bahkan dendeng kulit singkong.
Walau terkesan terisolir namun sebetulnya menuju kesini cukup mudah, bila memakai kereta api komuter Bandung Raya atau Cibatuan maka tinggal turun di stasiun Cimahi. Darisana tinggal pesan taxi online. Mudah bukan? Jangan lupa pulangnya membeli oleh-oleh cemilan serba singkong khas Cireundeu yang citarasanya ngangenin.
@districtonebdg